Kamis, 20 Agustus 2009

Menelusuri Definisi Khilafah


Oleh: ajo aSShiddiq

Pengertian Bahasa
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi khalafa, berarti: menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jâ'a ba'dahu fa-shâra makânahu) (Al-Mu'jam al-Wasith, I/251).

Dalam kitab Mu'jam Maqayis al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a'zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).

Imam al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za'amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma'atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/8-9).


Pengertian Syar'i

Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Saw dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-Islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang "Khilafah" atau "Imamah". Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat al-Qur'an yang menyebut kata "ad-dawlah al-Islamiyah" (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (lihat Dr. Sulaiman ath-Thamawi, As-Sulthat ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).

Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :

Pertama, menurut Imam al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 3).

Kedua, menurut Imam al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats al-Umam, hal. 15).

Ketiga, menurut Imam al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah Saw oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah ath-Thawali', hal.225).

Keempat, menurut ‘Adhuddin al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I'adah al-Khilafah, hal. 32).

Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi Saw dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).

Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh (urusan umat) sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).

Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma'atsir al-Inafah fi Ma'alim al-Khilafah, I/8).

Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh al-Musayirah, hal. 141).

Kesembilan, menurut Imam ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a'zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, VII/289).

Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah)… untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad…melaksanakan peradilan (qadha'), menegakkan hudud…sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi Saw (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil al-Karamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, hal. 23).

Kesebelas, menurut Syaikh al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi Saw dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah al-Murid 'Ala Jauhar at-Tauhid, II/45).

Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit al-Muthi'i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I’adah al-Khilafah, hal. 33).

Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi Saw dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi Saw berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif al-Aql wa al-'Ilm wa al-'Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi Saw (Tarikh al-Islam, I/350).


Analisis Definisi

Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :

Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan, "Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama."

Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi "urusan dunia" (umûr ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur "urusan agama".

Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) —misalnya adanya dikotomi wilayah "urusan dunia" dan "urusan agama"— daripada sebuah definisi yang bersifat syar'i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jâmi'ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha'), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur "umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin". Atau bahwa Khilafah mengatur "kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah". Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar'i (at-ta'rif asy-syar'i) atau definisi non-syar'i (at-ta'rif ghayr asy-syar'i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar'i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar'i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi'il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda'), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya

Jika definisinya berupa definisi non-syar'i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi'), bukan dari nash-nash syara'. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar'i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara' al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, definisi syar'i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar'i (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar'i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar'i yang berkaitan dengannya.

Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar'i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits Nabi Saw, telah menggunakan lafazh-lafazh "khalifah" dan "imam" yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, "Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [Shahih Muslim, no. 1853]. Imam al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.

Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash al-Qur'an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu:

Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu: (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah

Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits, "Maka Imam yang (memimpin) atas manusia adalah (bagaikan) seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." [Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan at-Tirmidzi, no. 1705, IV/308]. Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri'asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib al-Arba'ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf al-A'immah, hal. 208).

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut:

Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (Qs. al-Baqarah [2]: 188; Qs. an-Nisâ' [4]: 58), mengumpulkan dan membagikan zakat (Qs. at-Taubah [9]: 103), menegakkan hudud (Qs. al-Baqarah [2]: 179), menjaga akhlaq (Qs. al-Isrâ' [17]: 32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (Qs. al-Hajj [22]: 32), dan seterusnya.

Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (Qs. al-Baqarah [2]: 216), menjaga tapal batas negara (Qs. al-Anfâl [8]: 60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (Qs. al-Anfâl [8]: 61; Qs. Muhammad [47]: 35).

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar'i (al-madlul asy-syar'i).

Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. [Khilafah1924 Online]


Daftar Pustaka

Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. “Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah Al-Islamiyah”. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya’ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts Al-Islamiyah).

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif).

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).

----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).

Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah al-Mu’ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr Al-‘Arabi).

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).

Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I’lam Al-Ha`irin bi Anna I’adah Al-Khilafah min A’zham Wajibat Hadza Ad-Din. (Beirut : Darul ‘Uqab).

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).

Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. (t.tp. : t.p.).

Last Updated ( Thursday, 22 December 2005 )
CARA SHOLAT
by; ustadz ajo assidiq

Assalamu'alaykum Wr. Wb.

Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya, bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut.

Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran keagamaan terbesar didunia Islam.

Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu Thalib.

Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman Nabi. Buku ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai literaturnya..

Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6

Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat.

Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tanganya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim

Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi

Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud

Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami

Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.


Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. - Qs. 4 an-Nisaa’ 43

Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).

Istilah Allahu Akbar tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah

Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata benda (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.


Surah 17:111 menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbira) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan Allahu Akbar. Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang inkar sunnah.

Didalam tradisi, tidak ada satupun terdengar bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir, seandainya ucapan Allahu Akbar salah dan bertentangan dengan al-Qur'an, tentunya akan ditegaskan oleh Nabi sendiri, kata al-Kabir sendiri didalam al-Qur'an berarti Allah yang Besar (ini bertindak sebagai superlatif), sementara kata al-Akbar sebagaimana didalam Hadist berarti Allah Maha Besar.

Kenapa kita harus sholat ?

Sampai saat ini masih ada sebagian dari umat Islam menganggap sholat hanya semata-mata sebagai suatu ritualitas dalam agama yang amalnya akan bermanfaat kelak dihari kiamat selaku penolong dalam menghadapi siksaan Allah. Padahal pendapat yang demikian ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, sebab manusia ini memiliki dua kehidupan yang seimbang; yaitu kehidupan masa sekarang atau alam duniawi dan kehidupan masa yang akan datang atau alam akhirat.

Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang sifatnya tidak seimbang, karena itu juga perintah Sholat tidak hanya berfungsi dimasa depan semata namun sebaliknya memiliki kegunaan yang vital bagi manusia dalam menjalani hari-hari kehidupannya dimasa kehidupan yang sekarang.

Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar

Qs. 29 al-ankabut : 45

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, didalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling tarik-menarik sehingga menjadikan jiwa condong kesalah satu diantaranya. Unsur tersebut adalah nilai-nilai positip (unsur malaikat) dan nilai-nilai negatif (unsur setan).

Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka itu juga untuk dirimu sendiri - Qs. 17 al-israa’ : 7

Ritualitas sholat dinyatakan didalam al-Qur’an pada ayat tersebut sebagai suatu sarana atau wadah untuk mengontrol perbuatan negatif yang seringkali mendominasi diri manusia. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik dengan Tuhan secara vertikal maka diharapkan secara horisontalpun manusia mampu berbuat baik kepada sesamanya bahkan lebih jauh kepada semua hamba Tuhan diluar dirinya.

Namun fakta dilapangan juga membuktikan bahwa banyak orang Islam yang rajin melakukan sholat namun kelakuan dan sifatnya justru tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang ada pada surah al-Ankabut ayat 45 tadi, betapa banyak orang yang kelihatannya rajin sholat namun tetap bergunjing, melakukan zinah, pelecehan seksual, bahkan bila dia seorang penguasa yang memiliki jabatan akan memanfaatkannya untuk menganiaya orang lain, melakukan penindasan, korupsi bahkan sampai pada pembunuhan dan peperangan. Inilah contoh manusia yang telah lalai dalam sholat mereka.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat

Yaitu orang-orang yang melalaikan sholatnya

Qs. 107 al-maa’uun : 4-5

Bila sudah seperti ini, maka kita patut memperhatikan firman Allah yang lain :

Luruskan mukamu di setiap sholat

dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29

Dari ayat tersebut, Allah hendak menyampaikan kepada manusia bahwa sholat itu memerlukan sikap lahir dan batin yang saling berkolerasi atau berhubungan. Meluruskan muka adalah memantapkan seluruh gerakan anggota tubuh dan menyesuaikannya dengan konsentrasi jiwa menghadap sang Maha Pencipta alam semesta. Disaat mulut membaca al-Fatihah, hati harus mengikutinya dengan sebisa mungkin memahami secara luas arti al-Fatihah sementara pikiran berkonsentrasi dengan gerak mulut dan hati, inilah keseimbangan yang di-istilahkan dengan khusuk dalam ayat berikut :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, Yaitu orang-orang yang khusuk dalam sholatnya - Qs. 23 al-mu’minuun : 1-2

Jadi, khusuk adalah suatu perbuatan yang menyeimbangkan gerak lahir dan batin, sehingga terciptalah suatu konsistensi ketika ia diterapkan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan komitmen yang dilafaskan dalam do’a iftitah :

Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam - Qs. 6 Al-An'am:162

Akhirnya sholat merupakan ritualitas multi dimensi yang semuanya mengarah kepada sipelakunya sendiri agar mendapat kebaikan, baik dalam hal mengontrol diri ketika masih hidup didunia maupun menjadi amal yang membantu saat penghisaban dihari kiamat kelak.

Lalu siapakah yang lebih baik agamanya selain orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah sedang diapun mengerjakan kebaikan ? - Qs. 4 an-Nisaa': 125

Kenapa sholat harus didahului oleh azan ?

Azan adalah seruan sebagai pertanda sudah masuknya waktu sholat, sekaligus sebagai seruan pemanggil umat agar orang-orang berkumpul dan bisa melakukan ibadah sholat secara berkelompok atau berjemaah. Secara kontekstual, tidak ada satu ayatpun didalam al-Qur’an yang menjelaskan perihal azan ini apalagi mengatur tata cara dan bacaannya, tetapi seruan ini secara umum bisa dijumpai secara tersirat dari beberapa ayat al-Qur’an.

Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. - Qs. 22 al-Hajj 67

Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya. - Qs. 17 al-Israa’ 111

Lebih detail lagi, masalah azan ini bisa dijumpai dalam beberapa hadis sebagai berikut :

Dari Malik bin al-Huwairits, sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda: Apabila waktu sholat telah tiba maka hendaklah salah seorang diantara kamu adzan untuk sholatmu itu; dan hendaklah yang tertua diantara kamu itu yang bertindak sebagai imam bagi kamu. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim

Riwayat Abdullah bin Umar, ia berkata :

Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu Sholat. Tidak ada seorangpun yang menyeru untuk Sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata : Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen.; Sebagian yang lain berkata : Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.; Kemudian Umar berkata : Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk sholat? Rasulullah Saw bersabda : Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad

Rasulullah Saw mempunyai dua muadzin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ahmad, Malik dan al-Darami

Dengan demikian masalah azan seperti ada tidaknya dalil tertulis didalam al-Qur’an atau apakah ada beberapa perbedaan lafash antara satu jemaah dengan jemaah yang lainnya tidak harus menjadi suatu permasalahan yang memecah kesatuan umat dan menghilangkan makna persaudaraan Islam. Sesuatu hal yang sangat wajar dan alamiah sekali alasannya kenapa "harus ada" adzan untuk sholat. Saat kita masih sekolah (terutama SD) kita sering melakukan gerak baris-berbaris, melakukan upacara bendera setiap hari senin pagi, dan untuk mengumpulkan siswa ditanah lapang biasanya bapak atau ibu guru menekan bel ataupun memukul lonceng sebagai tanda dan isyarat bahwa waktunya sudah tiba.

Dahulu ketika saya masih aktif mengajar dikelas web programming, semua murid belum mau berkemas untuk pulang sebelum terdengar bel, padahal waktu sudah lewat dari jadwal seharusnya, ketika saya tanya " ... pada nggak mau pulang nih ... ?" ; mereka jawab : "khan belum bel, pak !" ; ya, mereka menunggu isyarat yang memastikan bahwa waktu untuk pulang memang sudah tiba. Lalu kenapa juga masalah ada tidaknya adzan didalam al-Quran harus dipermasalahkan ? Sering saya katakan berulang kali ... jangan terlalu berlebihan dalam suatu perbuatan, mari kita bumikan ajaran langit sesuai fitrah kemanusiawian yang ada. Pahamilah agama dengan penuh kewajaran dan kelogisan, selama sesuatu itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kebaikan maka kenapa tidak menggunakannya, apalagi Rasul sudah jelas mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari beliau yang bisa dilihat dari sunnah yang ada.

Bagaimana cara sholat didalam Islam ?

Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya (lihat artikel saya mengenai kontroversi kisah penjemputan sholat pada peristiwa Mi'raj Nabi), bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut.

Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran keagamaan terbesar didunia Islam.

Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu Thalib r.a.

Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman Nabi. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai literaturnya..

Sebagai pengantar awal, harus kita ingat lagi bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan sebagai salah satu sikap bersyukur dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog, mengadukan semua keluh kesah yang dialami dan mencari jalan keluar dari aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi ditinjau dari sisi metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual meditasi, pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam tubuh (energi statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat dinamis).

Dengan demikian, saat sholat terjadi kita sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi terhadap alam semesta, terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik ilahiah yang sifatnya tak hingga. Karena itulah orang yang selalu melakukan sholat secara baik, dia bisa terhindar dari energi negatif yang mencelakakannya atau menggiringnya kedalam kehinaan.

Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar - Qs. 29 al-ankabut : 45

Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6

Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar memelihara jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur'an tidak memberikan informasi mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana dan sepele kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun terkadang kita sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut turun dimana para pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar agama yang baru mereka anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti ini memerlukan jawaban atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.

Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tangannya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim

Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi


Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud

Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami

Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.

Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. - Qs. 4 an-Nisaa’ 43

Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah

Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata kerja (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan) bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.

Surah 17:111 menyebutkan istilah yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai kepada kita dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam berbagai saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir didalam sholat.

Bersamaan waktunya dengan takbir, kita mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, adapun salah satu hikmahnya sebagai isyarat perpisahan sementara, meninggalkan urusan duniawi dan mengembalikan semua urusan kepada Allah, Tuhan yang Maha Berkehendak.

Dari Ali bin Abu Thalib, dari Rasulullah Saw : ‘Sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk sholat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya berbetulan dengan kedua pundaknya.’ – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi

Dalam satu riwayat, sesungguhnya Rasulullah Saw apabila takbir, ia mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua telinganya. – Riwayat Ahmad dan Muslim

Menurut riwayat Abu Daud dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan Wail bin Hujr, bahwa Nabi merapatkan antara jari-jari kedua tangannya itu dan Wail berkata : ‘Sehingga berbetulan punggung kedua telapak tangannya itu dengan pundak dan ujung-ujung jarinya dengan telinga’

Dari Ibnu Umar, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw bila berdiri untuk sholat, mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua pundaknya itu lalu bertakbir. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim

Dengan demkian maka posisi tangan saat takbir adalah berada sejajar terhadap bahu dengan jari-jarinya sejajar dengan telinga.

Selanjutnya kedua tangan yang tadinya diangkat diturunkan keposisi antara perut dan dada seraya membaca do’a iftitah atau do’a pembuka, dan salah satu dari do’a pembuka yang juga sering dibaca Nabi adalah sebagaimana diterangkan hadis berikut :

Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Adalah Nabi Saw bila berdiri sholat beliau membaca : “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamaawaatiwal ardho, haniefam muslimaw wamaa ana minal musrykin, inna sholati wanusukie wamahyaaya wamamaatie lillaahi Robbil ‘Aalamin. Laa Syarikalah Wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin. Allahumma Antal Mulku Laailaaha ilaa Anta, Anta Robbi Wa ana ‘Abduka, Zholamtu Nafsi, Wa’taraftu Bidzahbi Faghfirli Dzunubi Jami’an, ...(Kuhadapkan wajahku kepada dzat yang menjadikan langit dan bumi dengan lurus dan penuh totalitas, bukanlah aku tergolong orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya, Sholatku, Ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan yang mengatur alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah, dan aku adalah tergolong orang-orang yang Muslim. Ya Allah ya Tuhanku. Engkau adalah raja yang tiada tuhan melainkan Engkau, Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat zalim kepada diriku sendiri dan aku telah mengakui dosa-dosaku, karenanya ampunilah dosa-dosaku semuanya).

Adapun menyangkut posisi kedua tangan, maka tangan kanan berada diatas tangan kiri sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat yang akan disebutkan. Pengaturan yang seperti ini bisa kita duga sebagai bentuk sikap takzim dan hormat kepada Allah sipemilik kebenaran, layaknya dalam kehidupan ini seorang tentara yang juga memiliki sikap takzim tertentu tatkala ia menghadap seorang Jenderal atasannya :

Dari Ali, ia berkata : ‘Sesungguhnya salah satu dari tuntunan Nabi mengenai Sholat, yaitu meletakkan telapak tangan diatas telapak tangan, dibawah pusar’. - Riwayat Ahmad dan Abu Daud

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ia pernah sholat, lalu ia meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanan, kemudian perbuatannya itu dilihat oleh Nabi Saw, lalu beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa dalam sholat, pandangan mata kita seyogyanya tidak berpaling dari tempat sujud apalagi sampai celingukan kesana kemari. Hal ini bisa kita terima secara logis, bahwa dalam melakukan konsentrasi hal yang pertama harus kita lakukan adalah pemusatan pikiran, seseorang tidak akan bisa konsentrasi selama dia tidak menyelaraskan semua panca inderanya. Karena itu seorang ahli hypnotis selalu mengarahkan obyeknya untuk fokus pada satu titik tertentu. Begitupun dengan sholat yang kita memang diperintahkan untuk bersikap khusuk yaitu suatu sikap konsentrasi yang diikuti oleh hati, gerakan tubuh dan pikiran.

Dari Abdullah bin az Zubair, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw apabila duduk dalam tahyat, beliau meletakkan tangan kanan diatas pahanya yang kanan pula, sedang tangannya yang kiri diatas pahanya yang kiri. Dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, sedang pandangannya tidak melebihi isyaratnya tersebut. – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ahmad

Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29

Setelah membaca do’a iftitah maka kita diwajibkan untuk membaca surah al-Fatihah sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa riwayat hadis berikut ini :

Tidaklah sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah – Riwayat Bukhari dan Muslim

Tidak cukup sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah – Riwayat Daruquthni

Dari ‘Aisyah ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda : ‘Barangsiapa sholat dengan tidak membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah), maka sholatnya itu tidak sempurna’ - Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah

Meskipun demikian dibeberapa riwayat lainnya kewajiban membaca al-Fatihah ini bisa diganti dengan bacaan-bacaan lainnya bagi mereka-mereka yang memang belum atau tidak bisa membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan baik (lafal dan artinya), dalam konteks kita sekarang keringanan ini berlaku bagi para muallaf atau orang-orang yang baru memeluk Islam dan sedang belajar Sholat.

Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Rasulullah Saw mengajar sholat kepada seorang laki-laki, lalu ia bersabda : ‘Jika kamu bisa membaca Qur’an maka bacalah, tetapi jika tidak, maka bacalah ‘alhamdulillah, Allahu Akbar dan Laa ilaaha Illallah (Segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar dan Tiada tuhan selain Allah); kemudian ruku’lah – Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi

Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata : ‘Aku tidak dapat membaca Qur’an sama sekali, oleh karena itu ajarlah aku bacaan yang kiranya bisa mencukupi sholatku’, maka bersabdalah Nabi : ‘Bacalah : Subhanallah Walhamdulillah Walaa ilaaha iLlaAllah Wallahu Akbar Walaa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah (Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, Tiada tuhan kecuali Allah dan Allah Maha Besar, tiada daya upaya kecuali atas bantuan Allah) – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasai

Membaca al-Fatihahpun menjadi tidak wajib saat posisi seseorang menjadi makmum dari suatu sholat berjemaah.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk di-ikuti, karena itu apabila ia telah takbir maka takbirlah kamu dan apabila ia sudah membaca maka diamlah kamu’ – Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Nasai

Dari Abdullah bin Syaddad meriwayatkan, sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda : ‘Barangsiapa sholat dibelakang imam, maka bacaan imam itu adalah menjadi bacaannya’. – Riwayat Daruquthni

Cukuplah buatmu bacaan imam itu, baik dia membacanya perlahan ataupun nyaring – Riwayat Khallal dan Daruquthni

Dijadikan imam itu hanya untuk di-ikuti, lantaran itu apabila ia takbir hendaklah kamu takbir dan bila ia membaca hendaklah kamu diam – Riwayat Ahmad

Dari Abu hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw setelah selesai mengerjakan Sholat yang ia keraskan bacaannya, lalu bertanya : ‘Apakah tadi ada seseorang diantara kamu yang membaca bersama aku ? ‘ – maka berkatalah seseorang : ‘Betul, ya Rasulullah ! kemudian Nabi bertanya : ‘Mengapa aku dilawan dengan al-Qur’an ?’ – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi

Telah berkata Jabir : barangsiapa sholat satu raka’at dengan tidak membaca al-Fatihah maka tidak disebut Sholat kecuali dibelakang imam – Riwayat Malik

Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah Saw pernah sholat dirumahnya dalam keadaan sakit, lalu beliau sholat dengan duduk. Dan datang sekelompok orang sholat dibelakangnya dengan berdiri. Lalu Nabi memberi isyarat kepada mereka ‘hendaklah kalian duduk’. Lalu ketika selesai sholat, Nabi bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan supaya di-ikuti, karenanya bila ia ruku’ maka ruku’lah dan bila ia mengangkat kepala maka angkatlah kepala kalian, bila ia sholat dengan duduk maka sholatlah pula kalian dengan duduk.’ – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim

Memang ada beberapa hadis lain yang membuat pengecualian membaca al-Fatihah dibelakang imam yang sedang membaca surah al-Qur’an, namun penulis menganggap hadis-hadis tersebut bertentangan secara nyata dengan hadis-hadis diatas dan bahkan bertentangan dengan al-Qur’an sendiri yang mewajibkan kita diam saat al-Qur’an dibacakan serta secara rasio logikapun tidak bisa dibenarkan, sebab imam itu memang dijadikan untuk kita ikuti, kita harus melakukan koreksi setiap bacaan yang keluar dari mulut sang imam, jika memang ada salah maka kitapun wajib memperbaikinya, sekarang bagaimana kita akan tahu imam salah atau tidaknya jika kita sendiri sibuk membaca ayat al-Qur’an dibelakang imam yang juga sedang membaca ayat al-Qur’an ? dimana pula letak rahmat yang kita peroleh dari menentangkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu ?

Dan apabila Qur’an dibaca, maka perhatikanlah dan diamlah agar kamu mendapatkan rahmat.- Qs. 7 al-‘A’raaf : 203

Surah al-Fatihah sendiri merupakan surah pertama dalam al-Qur’an meskipun ia bukan surah pertama yang turun kepada Nabi, didalam surah al-Fatihah ini terdapat ayat-ayat pujian kepada Allah, ayat-ayat pengesaan akan dzat-Nya serta ayat-ayat do’a atau permohonan bantuan kita sebagai makhluk yang lemah terhadap Allah.

Surah al-Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat dan mengenai susunannya memang terdapat perbedaan dikalangan ulama Islam, apakah ayat pertama dimulai dari Bismillah ataukah dimulai dari Alhamdulillah, namun sebenarnya hal ini tidak perlu dipertentangkan karena dalam sebuah hadis yang panjang dari Abu Hurairah riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah disebutkan bahwa al-Fatihah itu dimulai dari Alhamdulillah, sementara bacaan Bismillah itu sendiri merupakan bacaan pemisah dan pembuka antar ayat-ayat al-Qur’an kecuali surah al-Bara’ah, dengan demikian ayat Bismillahhirrohmanirrohim ini bukan termasuk ayat al-Fatihah namun ia merupakan ayat tersendiri, sama seperti didalam surah-surah al-Qur’an yang lainnya.


Alhamdulillahhirobbil ‘Alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh makhluk) – ayat 1
Arrohmanirrohim (Yang sangat pengasih dan penyayang) – ayat 2
Maaliki yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan) – ayat 3
Iyyakana’budu waiyyakanasta’in (Hanya kepada-Mu saja kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan) – ayat 4
Ihdinassirotol mustaqim (Tunjukkanlah kami pada jalan kebenaran) – ayat 5
Shirotolladzi na’anamta ’alaihim (Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka) – ayat 6
Ghoiril maghduubi ‘alaihim waladdhollien (bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan jalan orang yang sesat) – ayat 7

Wassalam,